
Memang ironis, dua menteri perempuan di bidang ekonomi kabinet, yakni Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan) dan Mari Elka Pangestu (Menteri Perdagangan) adalah salah satu yang terkait dalam pengambil kebijakan naiknya bahan bakar minyak (BBM) kali ketiga dalam pemerintahan SBY-JK.
Sepertinya dua menteri ekonomi kabinet pemerintahan SBY-JK itu kurang memiliki kepekaan jender terhadap nasib kemiskinan perempuan akibat pencabutan subsidi. Program neoliberalisasi ekonomi, di antaranya pengurangan subsidi di berbagai sektor, termasuk BBM, yang berimbas kepada kenaikan harga kebutuhan pokok dan lainnya, seperti biaya pendidikan, kesehatan, kebutuhan sehari-hari, akan membuat nasib perempuan semakin terpuruk.
Sementara itu para perempuan yang duduk di kursi legislatif terlihat tak berbuat banyak. Suara-suara mereka terdengar ’sumbang’ menyuarakan penolakan pengurangan atau pencabutan subsidi yang terus-menerus dilakukan pemerintah, terutama dalam kenaikan harga BBM.
LSM perempuan, gerakan mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya, berdemonstrasi di bawah sengatan matahari untuk terus menolak kebijakan ini. Walaupun mereka harus mengalami kekerasan dari aparat yang bertindak represif.
Derita Perempuan
Keputusan pemerintah ini sepertinya tak berkaca dari masa lalu. Sebuah keputusan yang membuat perbaikan nasib perempuan semakin jauh dari harapan.
Pascakenaikan harga BBM per 1 Oktober 2005, Program Pembangunan PBB (UNDP) memperkirakan 65 juta penduduk miskin dari 220 juta lebih penduduk. Dari penduduk miskin tersebut, hampir separuh lebih adalah perempuan. Dan pascakenaikan harga BBM per 24 Mei 2008 bisa dipastikan akan semakin meningkatkan angka komunitas kemiskinan.
Maka, kaum perempuanlah yang paling menderita dalam kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM, akan memantik lonjakan inflasi, memperlemah daya beli rakyat yang sekaligus menurunkan daya beli perempuan untuk memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga, serta menaikkan angka pengangguran terutama dari kalangan perempuan.
Kebijakan kenaikan harga BBM, bagi kaum perempuan seperti memeluk gunung dalam menuntut hak-hak mereka. Seperti hak memperoleh layanan kualitas kesehatan maksimum, hak terlindungi dari praktik kekerasan, hak menerima upah layak, dan terpenuhinya standar hidup layak.
Kenaikan BBM hanya akan semakin menyulitkan ibu rumah tangga dalam mengelola keuangan rumah tangga. Keadaan yang memaksa mereka harus berhemat secara luar biasa. Tak peduli hal itu bisa menurunkan kualitas hidup dan gizi keluarga. Seperti mengganti beras dengan nasi aking, susu formula dengan air tajin, dan lainnya. Tidak mengherankan bermunculan berbagai penyakit akibat kurang gizi kian mudah didapati. Kesejahteraan keluarga hanya di ujung mimpi belaka.
Yang lebih mengkhawatirkan, keadaan ini dapat memicu peningkatan angka kekerasan dalam rumah tangga di berbagai daerah probabilitas terbesar ada di dalam keluarga miskin. Sebab kesulitan ekonomi yang luar biasa menyebabkan para suami terkena dampak stres psikologis yang berujung pada praktik kekerasan terhadap istri/perempuan.
Selain itu, statistik tahun 2002 saja, menunjukkan jumlah perempuan kepala rumah tangga adalah 13,4 persen dai total rumah tangga di Indonesia, atau sekitar enam juta kepala keluarga. Separuh dari jumlah perempuan kepala tersebut sangat miskin dan tidak bisa baca tulis. Maka, apa yang bisa mereka lakukan untuk dapat menghidupi keluarga pascakenaikan harga BBM.
Mati Surinya Politik Perempuan
Nasib perempuan pascakenaikan BBM seperti itu, dapat disebut saat ini politik perempuan tengah mati suri. Sebab keberadaan perempuan di eksekutif maupun legislatif sepertinya belum bisa berbuat banyak dalam menahan pemerintah menaikkan harga BBM, terutama dalam pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan maksimum bagi perempuan.
Perpolitikan dewasa ini masih kuat didominasi politik laki-laki. Dua orang menteri perempuan dalam kabinet pemerintahan SBY-JK di bidang ekonomi, misalnya, hanyalah ’lip service’ belaka. Sebuah keterwakilan perempuan yang semu.
Selain itu kebijakan ini merupakan keputusan politik yang menyudutkan nilai, kepentingan, aspirasi dan nasib perempuan yang merupakan lebih dari separuh penduduk negeri ini. Walaupun katanya keputusan menaikkan harga BBM ini harus mengorbankan popularitas, demi menyelamatkan APBN.
Padahal dalam demokrasi tidak hanya representasi warga atau kelompok dalam arena pengambilan keputusan yang harus diperlukan. Tapi harus juga mempertimbangkan aspirasi atau kepentingan kelompok tersebut di dalam proses pembuatan keputusan tersebut.
Dan hal ini tak tercermin dalam kebijakan pemerintah SBY-JK dalam menaikkan harga BBM. Aspirasi LSM perempuan, para ibu rumah tangga, mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya tak digubris sama sekali. Tak peduli keputusan ini merupakan kebijakan politik-ekonomi yang mendegradasikan kualitas hidup kaum perempuan dan keluarganya
Menghadapi kebijakan neoliberalisasi ekonomi pemerintahan SBY-JK, yang salah satunya adalah pengurangan subsidi di berbagai sektor, yang tidak mungkin akan terus berlanjut di masa datang, gerakan perempuan bersama komunitas mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya untuk menolak kebijakan pengurangan subsidi tersebut.
Untuk itu diperlukan komitmen kuat kaum perempuan yang duduk di DPR, pemerintahan, LSM, dan lainnya bersatu dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat dan perempuan. Dan memperbesar keterwakilan perempuan di lembaga legislatif sampai 30 persen pada pemilu 2009 dan lebih banyak lagi berkiprah di lembaga eksekutif. Tanpa itu kesejahteraan rakyat dan perempuan akan terus terpinggirkan sampai kapan pun. Politik perempuan pun selamanya akan mati suri.
Haris Halimi
Aktif di Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI) Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar